Surat terbuka untukmu
Halo, apa kabar laki-laki yang pernah membuatku jatuh hati?
Sesekali aku teringat tentangmu. Sesekali aku merindukan kita. Tapi ini tak pernah jadi alasanku untuk berharap engkau kembali. Aku harap kita akan sama-sama bahagia atas apa yang kita pilih dulu — berpisah.
Halo apa kabar kamu, sudah lama rasanya membatasi diri untuk tidak
mencari tahu tentangmu. Apa kabar wanita yang kulihat terakhir
bersamamu? Kalian masih baik-baik saja ‘kan? Aku harap begitu. Setelah
kita memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri tahukah engkau jika
sesekali aku merindukanmu. Terus terang aku sesekali melihat ke arahmu
untuk memastikan masih ada senyum yang dulu membuat aku jatuh hati
padamu. Meski aku tahu itu bukan buatku lagi. Tapi aku sungguh bahagia
melihatmu jauh lebih bahagia disana. Ingatkah kamu kemana saja kita pergi dulu? Tentang genggaman tangan
pertama kala itu, engkau jelas tak mau melepasnya. Rebahan pertamaku,
serta hal-hal pertama yang dulu kita lakukan bersama. Tapi mungkinkah
engkau mengingat jelas tentang kita sebagaimana aku mengingatnya? Ah,
rasanya aku ingin menanyakan banyak hal padamu. Atau sesekali bersenda
gurau tentangmu. Tapi kini kita sudah punya batas sendiri-sendiri yang
tak mungkin kita lewati.
Kita yang Dulu Memang Sempat Terasa Indah
Aku ingat dulu tiada hari tanpa sekedar menanyaimu hal-hal kecil
seperti: “Kamu lagi apa?” “Sudah makan belum?” atau ucapan: “Selamat
pagi”, “Selamat malam” atau ucapan lainnya. Aku juga ingat sesekali
engkau menyanyi satu bait lagu saat percakapan kita di telepon terasa
hambar. Atau mungkin kau ingat panggilanmu untukku dulu? Dan sesekali
engkau bahkan mengejekku sampai aku marah.
Dulu, berada dalam rengkuhan pelukmu sudah cukup membuatku tenang.
Ditambah lagi kecupanmu di keningku. Engkau bilang itu adalah tanda
sayangmu, meski agar kau bisa mengecupku itu berarti aku harus berjinjit
untuk menyamakan diri denganmu. Anehnya, tak peduli tinggi badan kita
berbeda aku selalu merasa kita serasi. Saat duduk di belakangmu aku juga
selalu memelukmu dengan erat dan entah kenapa aku kala itu merasa bahwa
aku akan kehilanganmu suatu saat nanti. Ya, benar saja, kita sudah tak
bersama lagi sekarang. Sebentar, apakah kau ingat juga sesekali aku marah karena engkau
seharian tak memberi kabar? Padahal aku tahu, engkau sedang sibuk kuliah
disana. Sedangkan aku yang seharusnya menyiapkan diriku untuk menempuh
ujian nasional malah sibuk mengkhawatirkanmu. Maklumlah engkau saat itu
sedang sibuk dengan kuliahmu, terkadang aku hanya merasa terlupakan.
Tapi, saat aku duduk di bangku kuliah akhirnya aku rasakan betapa
sibuknya aku. Aku ternyata tidak begitu dewasa dulu, aku sering sekali
marah tanpa alasan. Tapi jujur saja, engkaulah yang paling sering
mengalah kala itu. Dulu bahkan aku belajar memakai hak tinggi untuk menyesuaikan diri
denganmu, yang kini aku sadari ternyata itu hal yang lucu. Tapi dulu
engkau tersenyum ‘kan melihatku memakai hak tinggi itu pertama kali
untukmu? Masih ingat coklat pertama pemberianmu? Atau hal-hal kecil lainnya
yang membuat aku tersenyum sepanjang hari? Sering kali engkau bahagiakan
aku dengan hal-hal kecil seperti itu.
Masih ingatkah kamu bagaimana dulu kita bertengkar?
Kita masih bertahan saat ada seseorang atau beberapa pihak yang
mencoba memisahkan kita. Ternyata mereka belum mampu memisahkan kita.
Meski engkau dan aku sering kali menaruh cemburu satu sama lain. Pada
akhirnya kita saling mengerti. Namun, masalah-masalah itu mulai muncul. Engkau kerap kali
menyalahkan aku dalam berbagai hal. Engkau terkadang diam dalam
perjalanan pulang. Bahkan kita sering kali mendiamkan satu sama lain
karena kita sudah sama-sama emosi. Saat salah satu dari kita meneleponpun terkadang ada bentakan atau
kata-kata kasar disana. Atau bahkan salah-satu diantara kita hilang dan
membiarkan puluhan missed call itu ada. Kadang aku berpikir
kita hanya harus menyadari kesalahan kita masing-masing dan bicara dari
hati ke hati. Tapi terkadang kita hanya saling diam tanpa sepatah kata
pun. Aku memilih diam, menangis dan mengurung diriku dalam kamar seharian.
Sedangkan engkau memilih pergi dengan teman-temanmu atau pura-pura
menyibukkan diri dengan tugas-tugas yang engkau karang sendiri. Padahal
kala malam datang, kita saling merindukan.
Waktu itu, tiba-tiba saja kau menghilang dari hari-hariku. Kemanakah dirimu?
Kala itu engkau tidak lagi hadir di tiap pagiku. Tak lagi menanyaiku hal-hal sepele seperti “Sudah makan belum?” dan engkau bahkan tidak menyertakan kata “Sayang”
lagi dalam setiap pesanmu. Engkau hanya sesekali muncul dalam seharian
itu. Bahkan ketika malam datang, engkau menghilang. Entah apa yang
engkau lakukan kala itu. Dan bertambahnya hari membuat aku semakin tak perduli, akupun mulai berubah. Aku yang awalnya selalu mengatakan “Iya”
mulai berkomentar tentang segala macamnya. Aku mulai banyak mengeluh
tentang sikapmu yang semakin hari semakin berbeda. Kini tinggallah sisi “Aku” yang begitu kuat dan sisi “Kamu” yang begitu kuat. Kita mulai sama-sama tidak bisa mengendalikan diri. Aku terkadang merasa engkau begitu jauh. Aku terkadang mulai merasa engkau ada yang lain.
Aku menyerah dan memilih untuk mundur..
Teman-temanku mulai menasehati aku untuk mengambil langkah mundur.
Tiap jam yang aku lewati tanpamu membuat aku semakin sadar bahwa kita
sudah jauh berbeda. Ternyata mungkin kita tak ditakdirkan bersama. Aku
semakin kuat. Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkanmu. Berat awalnya,
tapi aku harus. Buat apa bersama dengan seseorang yang tak lagi mengharapkanmu.
Engkaupun setuju dengan pengakuanku. Kala itu engkau mengiyakan
pedapatku. Dan seperti kata-kata yang sering aku dengar di novel-novel
itu: “Jika itu membuatmu bahagia, tak apa”. Ya, benar saja. Kita
akhirnya berjalan sendiri-sendiri.Tak berbulan lama setelah kita benar-benar tak saling mengabari satu
sama lain. Aku dengar engkau telah bersama yang lain. Meski engkau
acapkali menyapaku di twitter untuk sekedar menyemangatiku belajar atau
hal-hal kecil lainnya.
Aku selalu mengingatkanmu jangan sedekat ini, tapi engkau tetap saja
datang. Hingga akhirnya kita mulai sadar ini salah, karena engkau punya
dia. Kita kembali memberi batas pada diri kita masing-masing. Hingga
akhirnya kita benar-benar jauh. Beda denganmu, aku harus beberapa kali menemukan orang yang salah.
Ternyata engkau masih di atas mereka. Sesekali dalam kesendirian itu aku
merindukamu, meski kadang aku sadar itu salah.
-Dari aku yang sesekali teringat tentangmu
sumber http://www.hipwee.com/hubungan/surat-terbuka-untuk-sang-mantan/
Komentar
Posting Komentar